Tahlilan, Yasinan, Maulid, Haramkah?

Bismillah, walhamdulillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kali ini saya mengangkat sebuah tema tentang beberapa pertanyaan yang datang kepada saya seputar :

"Tahlilan, Yasinan, Maulid, itu haram gak sih?"

Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu datang dari mereka-mereka yang awam dan belum mempelajari Fiqih secara mendalam. Sehingga tatkala mereka bertemu dengan sahabat, saudara, atau kenalan, dan orang-orang tersebut berpendapat bahwa Tahlilan, Yasinan, Maulid, Isra' Mi'raj, dan PHBI lainnya adalah bid'ah (red : haram), sontak mereka pun merasa takut lantaran pasti masuk neraka. Karena ada sabda Nabi s.a.w yang berbunyi :

وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

"Seburuk-buruk perkara adalah (perkara) yang diada-adakan, setiap (perkara) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka"
HR. An Nasa'i

Bahkan, sampai-sampai, ada seseorang yang antipati dengan saudaranya gegara perbedaan pendapat terkait hal di atas. Menyebabkan benci, dendam, dan permusuhan diantara mereka.

Subhanallah, betapa salah dalam bersikap dan memandang permasalahan teknis dalam agama berujung kepada perpecahan umat.

Padahal, dengan tegas Allah melarang kita menjadi sumber perpecahan umat, sebagaimana Ia berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka"
(QS. 3 : 105)

Juga jangan sampai kita tergolong sebagai orang-orang yang gemar dalam perpecahan dan pemaksaan pendapat pribadi semata. Karena Allah tidak menyukai mereka yang membuat kerusakan dalam tubuh umat

وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدٰوَةَ وَالْبَغْضَآءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيٰمَةِ

"Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat"
(QS. 5 : 64)

Jadi, sebelum membahas bid'ah atau tidak, penuhilah terlebih dahulu hati dan akal dengan kebijaksanaan. Bahwa perbedaan pendapat memang sunnatullah, mencoba untuk meredamnya dengan memaksakan pendapat pribadi merupakan pelanggaran terhadap sunnatullah.

MEMAHAMI KHILAFIYAH

Saudaraku, mengapa saya katakan bahwa perbedaan pendapat adalah sunnatullah, karena Allah secara gamblang menjelaskan hal tersebut dalam QS. Fathir : 28,

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهُ كَذَلِكَ، إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَائُوْا، إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

"Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun

Perhatikan pada kalimat "bermacam-macam warnanya (jenisnya)" (mukhtalifun alwaanuhu). Ini menggambarkan bahwa keberagaman adalah bagian yang tak terpisahkan dari sunnatullah. Menentang sunnatullah berarti bukan bagian dari ajaran Islam.

Maka seyogyanya, setiap memahami hal yang diklaim sebagai bid'ah, tidak langsung menjudge bahwa itu sesat, dan yang melakukannya pasti masuk neraka.

Kaji terlebih dahulu, apakah hal yang disangkakan sesat tersebut tidak berdasar kepada syari'at? Kajilah, darimana pihak-pihak tersebut mengambil dasaran. Kaji pula, teknis pelaksanaan hal tersebut, cari dimana letak bid'ahnya.

Jangan hanya semangat menggebu lantaran mendengar ceramah bahwa hal tersebut bid'ah lantas kita langsung berkesimpulan bahwa itu bid'ah dan sesat. ini namanya taklid saudaraku. Apalagi kalau pengkajiannya terhadap ilmu fiqih saja belum rutin, baru paham satu dua dalil, sudah gembor-gembor bilang ini bid'ah itu bid'ah.

Subhanallah, apakah sudah sampai derajat seorang mujtahid?

Ingatlah hadist berikut,


إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ


"Sebesar – besar kejahatan muslimin (pada muslim lainnya) adalah yang mempermasalahkan suatu hal yang tidak diharamkan, namun menjadi haram sebab ia mempermasalahkannya"
HR. Bukhari

Maka muncul pertanyaan, apakah yang diklaim bid'ah (red : sesat) memang secara tegas ada larangannya terkait Maulid, Tahlilan, Yasinan, dan PHBI lainnya?

Ternyata, pun tidak ada dalil yang secara leterlek mengharamkan Maulid, Tahlilan, Yasinan, dan PHBI lainnya. Berarti inilah yang disebut dengan khilafiyah. Mengapa khilafiyah?

Karena masing-masing ulama yang faqih, memandang sebuah dalil dengan interpretasi mereka berdasarkan pemahamannya tentang dalil tersebut. Dan masing-masing mereka memiliki dasaran dalil yang kuat ketika menentukan sikap terhadap suatu masalah.

Jadi sangat tidak etis bila, yang hafalan Qur'annya saja masih "belang bentong", pun dengan hafalan hadistnya, pun dengan pemahaman fiqihnya, pun dengan akhlaknya, tapi sudah berani untuk membid'ahkan saudara semuslimnya?

Berlaku adillah saudaraku,

"Sungguh, orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah itu berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam memutuskan hukum, adil dalam urusan keluarganya, dan adil pada jabatan yang mereka pegang"
HR. Muslim, kitab Al Imarah : 18.

Bila masih tidak terima, bahwa tidak semua bid'ah itu sesat (selama tidak bertentangan dengan syari'at) maka bagaimana dengan Al Qur'an yang kini dimushafkan?

Bahkan Abu Bakar r.a tatkala Umar bin Khaththab mengusulkan hal itu, beliau menolaknya, karena awalnya beliau berfikir ini adalah sebuah bid'ah.

Kaifa af'al maa lam taf'al Rasulullah?

"Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah?"

Tapi dalam pandangan Umar, hal itu hanyalah permasalahan teknis, bukan prinsipil. Maka Umar terus menerus meyakinkan sahabat mulia tersebut agar menerima usulnya, menyatukan nash-nash Al Qur'an menjadi satu.

Lihatlah, bagaimana fiqih Umar telah mendatangkan maslahat yang sangat besar bagi umat ini.

Lantas, kalau memang masih merasa bahwa bid'ah ialah yang tak dilakukan Rasul, tak diucapkan Rasul, dan tak disetujui Rasul, berarti, pengumpulan nash-nash Qur'an menjadi masuk dalam kategori bid'ah?

Bijaklah dalam bersikap. Kita boleh beda pandangan, karena memang ayatNya melarang kita berpecah belah, bukan berbeda pendapat.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُو

"Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali agama Allah, dan janganlah bercerai berai.."
(QS. 3 : 103)

Perhatikan kalimat "wa laa tafarraquu" (janganlah bercerai berai / berpecah belah), Allah tidak mengatakan "wa laa takhtalifuu" (janganlah berbeda pendapat), menunjukkan bahwa perbedaan itu sebuah keniscahyaan namun perpecahan merupakan sebuah kemungkaran.

Mari bijak dalam menyikapi khilafiyah.

MAULID, TAHLILAN, YASINAN, DAN PHBI TERMASUK AMAL SHALIH

Saudaraku, kita terlalu sibuk mengurusi masalah-masalah furu' (cabang) dan lupa hal yang ushul (prinsipil)-nya. Bahwa jauh lebih penting manakala kita fokus pada persatuan dan penguatan persaudaraan semuslim, ketibang lelah menghabiskan energi untuk masalah-masalah cabang.

Karena rasa tidak terima terhadap pendapat saudaranya, muncul rasa ketidaksukaan, benci, dengki, maka muncullah berbagai firqah dalam tubuh umat. Apalagi kalau bukan alasan-alasan ke-"aku"-an yang menyebabkan begitu banyak firqah berkembang dalam bangunan Islam?

Dan alasan-alasan tersebut muncul, peliknya, lebih karena masalah-masalah furu' yang terlalu difokuskan dan melupakan ranah ushulnya.

Maka tidak etis bila, Maulid, Tahlilan, Yasinan, dan PHBI di bawa ke ranah sunnah-bid'ah. Tapi ini adalah masalah fiqih, karenanya ini tentang dalil yang kuat dan dalil yang lebih kuat.

Dalam konteks itu, saya melihat, bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan teknik yang sangat indah dan kemuliaan yang tidak kita temukan hari ini. Bahwa para ulama dahulu (wali songo dan ulama-ulama terdahulu) begitu 'arif dalam memandang khilafiyah. Ya, pastinya mereka faham tentang bid'ah, tentang sunnah, tentang fiqih, tentang aqidah, tentang akhlak, tentang Tauhid yang lurus.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan"
(QS. 16 : 97)

Tapi seindah ayat di atas, mereka mengambil jalan hikmah. Yakni jalan yang membawa maslahat begitu besar bagi negeri ini sehingga menghantarkan negeri ini menjadi negara dengan mayoritas ummat Islam terbesar di dunia.

Lihatlah bagaimana Allah memerintahkan kita untuk memandang dengan hikmah,


ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlan mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk"
(QS. 16 : 125)

Ayat tersebut turun pada saat banyaknya korban syahid dari front Islam di perang uhud, sehingga Allah memerintahkan Rasul untuk melakukan gencatan senjata dengan kaum kuffar. Gencatan senjata disitu bukan bukti kekalahan, melainkan taktik untuk mempersiapkan kemenangan dikemudian hari.

Artinya, memandang ayat di atas, para ulama terdahulu pun mengikuti taktik tersebut. Mereka melihat hikmah yang jauh lebih besar ketika berdakwah, daripada membid'ah-bid'ahkan masyarakat nusantara kala itu.

Bahwa meskipun Maulid, Tahlilan, Yasinan, dan PHBI tidak ada contoh secara langsung dari Rasul, tapi adanya kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan amal shalih bagi umat. Ditinjau dari progres dakwah.

Bahwa di dalam Maulid ada tausyah, ada lantunan ayat Al Qur'an, ada shalawat, ada momen masing-masing jama'ah untuk bersilaturahim, ada momen bagi mereka untuk mendekap dalam dekapan ukhuwah nan hangat dan mencerahkan, ada kesempatan bagi mereka yang tidak pernah ke Masjid tersebab Maulid jadi tergerak dan akhirnya senang ke Masjid, maka Maulid dan PHBI lainnya menjadi jalan hidayah sekaligus media taklim bagi umat.

Bahwa di dalam Yasinan ada kesempatan untuk bertilawah, ada momen bagi mereka untuk mencintai Al Qur'an, membersamai Al Qur'an, ada kesempatan bagi umat untuk mulai membumikan Al Qur'an, yang tadinya tidak pernah baca Al Qur'an tersebab Yasinan akhirnya membuatnya jadi suka membaca Al Qur'an, yang tadinya selalu sibuk dengan urusan dunia tersebab Yasinan akhirnya membuatnya jadi lebih suka membaca Al Qur'an ketibang urusan dunia, maka Yasinan menjadi jalan hidayah sekaligus media membumikan Al Qur'an bagi umat.

Bahwa di dalam tahlilan ada momen untuk mengingat kematian, ada momen untuk menguatkan ketauhidan, ada kesempatan bagi mereka yang sibuk dengan hingar bingar dunia tersebab tahlilan jadi meninggalkan pesta pora semu dan lebih rajin dalam beribadah, maka Tahlilan menjadi jalan hidayah sekaligus media mengingat hari akhir bagi umat.

Jadi sekali lagi, mari kita lihat kontennya, bukan covernya. Mungkin judulnya Maulid, Yasinan, Tahlilan, dll, tapi kalau kontennya syar'i, dimana salahnya?

Dan itulah alasan para ulama terdahulu yang dengan kefaqihannya telah mendatangkan maslahat yang besar bagi umat di negeri ini. Mereka melihat sisi hikmah, ketibang subjektifitas pandangan mereka. Karena harapannya adalah, agar umat Islam negeri ini beramal shalih dan terus mengkaji ilmuNya, gemar membumikan Qur'an dan mengimplementasi sunnahnya.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan"
(QS. 16 : 97)

PERPECAHAN BUKAN AJARAN ISLAM

Para ulama fiqih, sekalipun berbeda pendapat, mereka tetap saling toleran. Tidak ada indikasi sama sekali dari sikap-sikap dan pendapat mereka yang mengarah kepada ajakan untuk berpecah belah. Mereka saling menghormati satu sama lain. Karena bagi mereka, perbedaan dalam ranah fiqih merupakan keniscahyaan.

Semakin luas ilmu seseorang, maka semakin 'arif lah ia. Sebagaimana Allah fahamkan kepada kita dalam QS. Yusuf : 76

ma fawqa kulli dzii 'ilmin 'aliim

"Dan di atas seorang yang berilmu ada lagi Allah Yang Maha Alim"

Karenanya kita paham, apapun dalilnya, dalam masalah-masalah fiqih, jika kemudian mengarah kepada perpecahan maka itu bukan ajaran Islam.

Dengan kata lain, bila suatu saat Anda bertemu dengan seseorang yang mengajarkan islam, tetapi arahnya mengajak kepada perpecahan, padahal persoalan yang ia angkat bukan termasuk persoalan prinsip, tetapi wilayah fiqih, maka Anda harus bersikap kritis.

Semakin komperhensif pemahaman seseorang, maka akan semakin membawa ke arah persatuan. Tetapi, semakin parsial pemahaman seseorang, maka akan semakin membawa ke arah perpecahan.

Wallahu a'lam. 

Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi saudaraku sekalian, dan mohon maaf bila kurang berkenan.
Previous
Next Post »