Dhuha yang kulakukan hari ini tak seperti biasanya. Ada
sekabut prasangka dalam sanubari, ada sekeping cemas yang terus berlari. Hari
ini sungguh tak seperti hari biasanya. Kucoba tuk kuatkan hati, bersujud
dihadapanNya sesempurna yang kumampu. Sambil melantunkan doa dalam tiap sujud
penuh harap.
“Ya Allah,
mudah-mudahan tidak ada hal yang buruk dalam pertemuan hari ini”
Kusudahi dua rakaat yang ke tiga dari rangkaian shalat dhuha
pagi ini, kuucapkan salam seikhlas yang kusanggup, dan kuusap wajahku dari
debu-debu kekhawatiran.
Bumi seakan lambat berputar di pagi ini, boleh jadi karena
hari ini aku dipanggil Pak Rektor tanpa sebuah alasan. Kau tahu, maksudku,
apalagi yang akan kudapati dari sebuah panggilan Rektor dengan nada tegas tanpa
sebab kecuali hal yang buruk?
Perintahnya sangat sederhana,
“Yusuf, kamu memang
kurang ajar, ke ruangan saya sekarang!”
Ya Allah, apakah aku telah membuat makar kepada Ust. Jazuli,
rektor di kampusku itu? Seingatku, aku tidak melakukan hal yang salah, Ya
Allah.
Dua hari ini bahkan, aku selalu datang jam 7 pagi ke kampus.
Padahal jadual bimbingan skripsiku dijadualkan pukul 10, tapi sengaja aku
datang lebih awal untuk mencari bahan data skripsi lewat buku-buku di
perpustakaan kampus.
Lagipula, dosen pembimbingku bukan Ust. Jazuli, kok. Dosen
pembimbingku itu Pak Rahmat, Kepala Prodi di kampus.
Seusai bimbingan, aku sudah tidak punya jadual apapun di
kampus. Dan seingatku, Ust. Jazuli juga tidak di kampus dua hari lalu. Mobilnya
tak kudapati terparkir di tempat khusus yang disediakan untuk beliau. Juga
tidak ada informasi dari dosen ataupun para sahabat bahwa beliau ada urusan
denganku sejak dua hari lalu.
Ok, aku yakin, ini bukan tentang kemarin lusa. Berarti, ini
tentang kemarin.
Tapi, apa yang sudah kulakukan kemarin? Kemarin memang hari
yang sibuk. Selain harus berkutat dengan data-data skripsi, aku juga harus
mengisi kajian bulanan di Masjid kampus, setelah itu mengisi training
leadership di acara BEM Fakultas.
Aku ingat, setelah bimbingan dengan Pak Rahmat kemarin,
Wanto, sahabatku di DKM langsung menjemputku untuk mengisi kajian bulanan
selama dua jam sampai waktu dzuhur tiba. Tidak ada selingan apapun kepadaku,
ketika aku mengisi kajian di Masjid kampus, baik itu dari pihak kampus ataupun
mahasiswa. Kajian berjalan dengan lancar.
Sebakda dzuhur, yang kuingat adalah, aku menghabiskan waktu
hingga ashar dengan berjejal bersama buku referensi untuk skripsi. Lagi-lagi
tidak ada yang menyambangiku sekedar untuk menyampaikan informasi dari Pak
Rektor kepadaku.
Hmmmmh, apa ada yang terlewat dari aktifitasku dua hari ini?
Kurasa tidak. Sebakda ashar, kutepati janjiku kepada Ahmad untuk menjadi
pemateri pertama dalam Leadership Training yang diselenggarakan teman-teman
BEM.
Lagi-lagi tidak ada pihak kampus ataupun mahasiswa yang
menyambangiku di acara itu atau setelahnya, yang memberitahuku bahwa aku
dipanggil Pak Rektor. Yang kuingat adalah, Ahmad mengajak diskusi ringan sambil
menunggu Maghrib tiba.
“Suf”, ujar Ahmad
kepadaku, “ aku lagi jatuh cinta”
“Terus?”, sahutku
seolah cuek.
“Kok terus sih, Suf?”
“Ya, terus?”
Ahmad mengerutkan dahi. Dia bingung dengan responku yang
aneh.
“Hehe”, candaku
padanya, “serius banget, Mad. Ayo-ayo,
silahkan cerita. Aku siap mendengarkan”
Ahmad tertawa sambil menepuk bahuku. Lantas mulailah sesi
curhat seperti tayangan “Mamah dan Aa”
seperti yang kita saksikan di TV.
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kata yang
diucapkan sahabatku itu. Ia ceritakan wanita yang ia sukai secara diam-diam
tersebut, dan keinginannya untuk segera menggenapi separuh Din-Nya.
“Mad”, ujarku, “Laki-laki sejati itu, membuktikan
kejantanannya dengan melamar wanita yang ia cintai. Bukan dengan memberi
harapan tak pasti apalagi memacari. Aku yakin kamu paham tentang kaidah itu”
“Hmmmh”, sahut
Ahmad,”Aku paham, Suf. Tapi jujur saja,
aku belum punya uang untuk meminang. Jangankan penghasilan, pekerjaan saja aku
belum punya.”
“Begini”,
lanjutku, “Kalau soal pekerjaan, mungkin
aku bisa bantu. Tapi ini kalau kamu mau”
“Apa, Suf?”
Aku tidak langsung menjawabnya. Namun ku buka tasku, dan
kuambil selebaran yang sudah kusimpan sejak beberapa hari sebelumnya. Itu
adalah selebaran tentang lowongan untuk menjadi Translator buku berbahasa Inggris dan menterjemahkan serta
mengeditnya menjadi berbahasa Indonesia.
“Ini”
“Apa ini, Suf?”
“Aku dapat dari
temanku di penerbitan buku. Kantornya sedang membutuhkan seorang translator
sekaligus editor buku-buku berbahasa Inggris. Nah, kamu kan mahasiswa jurusan
Sastra Inggris. Mungkin bisa dicoba”
Ahmad hanya mengangguk. Ia tidak bertanya berapa salary yang akan ia dapatkan, bagaimana
lingkungan kerjanya, bagaimana Masjidnya, dan detail-detail lainnya. Ia hanya
mengangguk.
“Tapi yang paling
penting”, ujarku sambil memegang pundaknya,”Istikharah dulu, Mad. Untuk perasaanmu terhadap si akhwat, dan tawaran
pekerjaan itu.”
Tak lama, kumandang adzan Maghrib menjelajah seisi kampus.
Kami pun menyudahi diskusi itu dan bergegas mengambil air wudhu.
Seingatku, hanya itu yang kulakukan kemarin di kampus. Dan
tidak ada satupun pihak kampus ataupun mahasiswa yang memberitahuku bila Pak
Rektor punya hajat terhadapku. Bukankah ini sangat aneh?
Ya Allah, duhai Yang
Maha Membolak-balikan Hati, tenangkan
diri hamba, Ya Rabb, dari pertanyaan-pertanyaan yang berlarian dalam benak
hamba. Untuk kekhawatiran yang belum jelas alasannya. Mudah-mudan Engkau
memberikan kebaikan dalam panggilan ini, sebagaimana janjimu dalam kitabMu
terhadap hambaMu yang taat di jalanMu, gumamku masygul.
Aku berjalan melewati pintu masuk kampus, berjalan menuju
taman, mengambil jalan pintas untuk segera sampai di Gedung Umar bin Khaththab,
kantornya para staff dan petinggi kampus. Dan disitulah Ust. Jazuli, rektor
kami yang sangat aku kagumi menungguku.
Ya, yang membuatku tegang adalah, tak pernah sekalipun
selama aku kuliah di kampus ini, Ust. Jazuli memanggilku dengan menghentak
seperti itu. Dia selalu lembut dalam bertutur, tenang dalam menyikapi suatu
hal, arif dalam mengambil keputusan.
Ah, sudahlah. Hadapi saja. Mungkin ada setangkil dosaku
padanya, yang harus kutebus saat ini. Biarlah, aku ikhlas, toh tiada merugi
hambaNya yang bertaubat atas dosanya dan meminta maaf kepada saudaranya.
Bismillah, yakinku
dalam hati.
Sudah dekat, hanya tinggal beberapa puluh meter saja.
Tinggal belok ke kiri di ujung lorong gedung Utsman bin Affan yang sekarang
tengah ku lewati.
Ketika aku sudah hampir keluar dari gedung Utsman bin Affan,
seseorang memanggilku dari belakang. Aku sangat kenal suara ini.
“Akh Yusuf...”
Aku menoleh. Ya, memang benar, ternyata dia.
“Hurin?”
“Ahsanta. Ilayna akh
Yusuf? ” *Betul, mau kemana Akh Yusuf
“Ana uriidu an..”
*Aku mau pergi ke
“Aku tahu”,
tukasnya, “Pasti mau ketemu papah, kan?”
Dasar, Hurin. Selalu saja bisa menebak apa yang akan
kukatakan. Ya, dia adalah adik kelasku di sini. Seorang anak rektor, dengan
beragam talenta yang luar biasa. Tapi bukan sekedar anak rektor, melainkan anak
rektor yang cantik, cerdas, dan shalihah. Wajar bila sejagad kampus
mengincarnya.
“Yaaa seperti biasa”, sahutku,
“kamu memang selalu bisa menebak apa yang
akan aku katakan, tapi, aku harus bergegas. Sungguh. Papahmu sepertinya bisa
murka bila aku datang lebih lama lagi”
Hurin hanya tertawa. Nampaknya kekhawatiranku ini
dianggapnya sebuah kelucuan dan main-main. Aku hanya membalas dengan senyuman,
padahal di dalam hati, aku sungguh dag-dig-dug
memikirkan apa yang akan Ust. Jazuli bicarakan.
“Hmmh, fii amanillah
kalau begitu. Hehe”, jawabnya.
***
Alhamdulillah,
gumamku dalam hati. Akhirnya sampai juga di kost-an. Rasanya, malam ini aku mau
istirahat dulu dari urusan skripsi dan kampus. Aku ingin memurajaah hafalanku
yang mungkin mulai terseok karena hari-hari belakangan mulai tidak terjaga.
Ku taruh tasku dan ku rapihkan karpet tempatku beristirahat,
kunyalakan kipas, lantas kurebahkan tubuhku di atas karpet. Kusandarkan
kepalaku di atas tas, sambil menatapi figura berisi kaligrafi bertuliskan Allah
dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.
Nampaknya, ada segunung rasa malu meretas di sanubari. Ia
menjalar lewat aliran darah dan menjelajah ke seluruh tubuh. Aku teringat
firmanNya,
أَلا إِنَّ لِلَّهِ ما فِي السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ قَدْ يَعْلَمُ ما أَنْتُمْ عَلَيْهِ وَ يَوْمَ يُرْجَعُونَ إِلَيْهِ فَيُنَبِّئُهُمْ بِما عَمِلُوا وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليمٌ
Ketahuilah Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia
mengetahui Keadaan yang kamu berada di dalamnya (sekarang). dan (mengetahui
pula) hati (manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.
QS. An Nur (24) : 64
Aku malu karena belum maksimal
menggunakan waktu. Padahal, sesibuk apapun, seharusnya aku sanggup membagi
waktu untuk memurajaah dan menambah hafalan Qur’anku. Bagaimana nanti di
akhirat, ketika Allah memintai pertanggung jawabanku atas ceramah-ceramah yang
kuberikan tentang keistiqomahan, sedangkan aku sendiri sering melalaikannya?
Aku malu, bahwa ketika aku
menghianatiNya, sesungguhnya Ia mengetahuinya. Sungguh, mau sembunyi-sembunyi
ataupun tidak, semua terlihat terang benderang di hadapan Allah, tiada yang
terhijab. Lantas, mengapa aku tega menduakanNya?
Sungguh aku malu, pada
Rasulullah. Bagaimana mungkin aku sanggup mengaku sebagai umatnya, bila untuk
menggigit sunnahnya dengan sekuat tenaga saja, aku masih terseok. Bila untuk
bersyahdu dengan kalamNya saja, aku masih lalai.
Sungguh aku malu pada Nabiku
tercinta. Bahwa kepada sahabat dan saudara, aku begitu menjaga perasaannya,
menjaga hak-haknya. Tapi mengapa kepada Rasulullah, aku menyakiti hatinya? Cukuplah
kelalaianku atas Al Qur’an menjadikanku seseorang yang menyakiti hatinya.
Sungguh, aku malu. Maluuu sekali.
Tak sadar, air mataku mengalir
membasahi wajah. Hatiku tak sanggup memendam gejolak yang kurasakan saat ini.
Semua adalah akumulasi dari apa yang kualami sehari ini.
Dimulai dari hentakkan Ust.
Jazuli yang menyalak marah padaku, kontemplasiku beberapa hari ini, skripsi
yang begitu menyita waktu dan fikiran, serta hal remeh temeh lainnya yang
seolah bagaikan gunung bersarang di pundakku.
Ah, nampaknya, aku yang terlalu
lemah. Baru segini saja aku sudah lalai. Bagaimana bila diamanahi yang lebih
besar oleh Allah?
Aku menyeka air mataku, lantas,
aku bangkit dan beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku
ingin tubuh ini tersucikan dengan wudhu, yang dengannya sanubari menjadi lebih
tenang, yang dengannya ada rintik cahaya yang memancar di ufuk jiwa.
Lantas ku buka tasku. Kuambil
mushaf Al Qur’an tercinta, lantas kucari ayat yang terakhir kali kubaca. Ya,
tadi subuh aku membaca Surat Thaha ayat ke 98. Maka sekarang, kulanjutkan dari
ayat ke 99.
Aku pun memulai tilawahku dengan
berlindung kepadaNya dari godaan syaithan yang terkutuk. Dan ku mulai menyelami
kalamNya yang penuh keagungan. Lisanku basah dengan kalimat-kalimat thayyibah
yang datangnya langsung dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Baru dua ayat yang kubaca, aku
sudah terhenti, dengan air mata membanjiri wajahku. Ketika sampai pada ayat,
مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا
Barangsiapa berpaling dari pada Al qur'an Maka Sesungguhnya ia akan
memikul dosa yang besar di hari kiamat.
QS. Thaha (20) : 100
Aku tertunduk dalam-dalam. Betapa hinanya diri ini. Mengaku
aktivis dakwah, tapi amaliah pribadi saja tak sanggup di jaga. Di hadapan
manusia terlihat sebagai hambanya yang shalih, tapi sejatinya aku merasa hina
penuh dosa.
Allah benar-benar hendak memberiku pengajaran atas apa yang
kualami hari ini.
Perlahan-lahan, kulanjutkan tilawahku. Kuselami ayat-ayatNya
selanjutnya. Aku terhanyut dalam untaian Cinta penuh pengajaran, dari Tuhan
Yang Maha Menetapkan. Kebaikan dan keburukan. Kaya ataukah Miskin. Lapang
ataukah Sempit. Muda ataukah Tua. Gagah ataukah Renta. Kuat ataukah Lemah.
Allah Maha Mengetahui semuanya.
Aku syahdu mengulam kalamNya. Namun, lagi-lagi aku terisak
seraya tertunduk dalam-dalam, manakala sampai pada ayat,
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di
belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. Dan
tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang hidup kekal lagi
Senantiasa mengurus (makhluk-Nya). dan Sesungguhnya telah merugilah orang yang
melakukan kezaliman.
QS. Thaha (20) : 110 – 111
Lantas, ketika hatiku masih basah
dalam penginsyafan, dering handphoneku mengusik kesyahduanku dengan Al Qur’an. Agar
tak mengganggu, aku mengambil handphone dan hendak ku senyapkan.
Tapi, ternyata itu adalah sms
dari Ust. Jazuli. Rektor yang sangat ku kagumi. Seorang ustadz yang sangat arif
dan santun. Seorang dosen yang penuh wibawa dan penebar hikmah.
Kalimatnya dalam SMS itu singkat
namun tak kehilangan sentuhan kesopanan,
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh,
Bagaimana keadaanmu Yaa Ukhayya, semoga engkau baik-baik saja. Maafkan
aku bila tadi pagi sedikit memberikanmu Shock Theraphy. Aku hanya ingin sedikit
bercanda denganmu.
‘Ala kulli hal, aku menunggu jawaban darimu atas apa yg kita bicarakan
di ruanganku. Semoga jawaban terbaik datang darimu. Jazakallah khair
Akhukum, Jazuli Zulqarnain
Sejenak, semburat episode tadi
pagi membuatku termenung. Apalagi dengan SMS dari Ust. Jazuli, membuatku mau
tidak mau memikirkan hal itu.
Ya, aku yang begitu kalut tadi
pagi, gegara seruan Pak Rektor yang menghentak, memarahiku, dan menyuruhku
datang ke ruangannya, telah salah sangka kepadanya. Kufikir ia sangat marah
atas kelakarku, entah apa itu, tapi ternyata, ia punya alasan atas hal itu.
Hal inilah yang membuatku tambah
malu kepada Allah. Bahwa hentakkan yang dilakukan oleh Ust. Jazuli, sebenarnya
adalah kamuflase semata.
Bahwa pertemuanku dengannya di
ruangannya tadi pagi, memang sudah direncanakannya. Aku yang sesampainya di
ruangan itu dalam keadaan kalut, begitu tertampar manakala sebuah amplop
berwarna coklat disodorkan kepadaku.
Awalnya, raut wajahnya
datar-datar saja. Tapi ketika perlahan kubuka amplop tersebut, dan kutahu
isinya kemudian, wajahnya berubah bersahaja. Senyumnya mengembang dari wajah
yang penuh ketenangan.
“Maafkan aku, wahai anakku”, ujarnya, “Sudah membentakmu tadi di Masjid. Sungguh, hal itu kulakukan hanya untuk membuat stigma bahwa aku tak
menganak-emaskan dirimu. Meskipun pada kenyataannya, aku sangat kagum kepadamu”
Ia mulai mempersilahkan aku untuk
duduk. Kutolak. Aku menggelengkan kepala. Ia malah tertawa, seraya bangkit dan
beranjak ke arahku. Lantas, ia mendekapku dengan erat. Sambil membisikkan,
“Maafkan aku, wahai anakku. Untuk orangtua ini, sudikah kiranya kau
memaafkanku?”
Hatiku gontai saat itu. Memang
ada sedikit kesal di hati, tapi mendengar permintaan seseorang yang sudah
kuanggap ayah sendiri, nampaknya begitu menyesakkan. Aku mengiyakan dengan
pelan. Dan ia pun berterimakasih sambil sedikit lirih. Lantas, ia melepaskan
dekapannya, dan mengajakku duduk di sofa.
“Kau memang anak baik, Yusuf”, pujinya, “Aku tahu itu. Karenanya, apa yang kau pegang itu, kupercayakan hanya
kepadamu. Tentu kau tau kan apa isi amplop itu?”
Aku terdiam. Dadaku seakan sesak.
Seolah bumi tepat berada di atasku. Bagaimana tidak? Amplop yang kupegang ini
bukan amplop biasa. Ini adalah piala bagi para mahasiwa di kampus ini. Bukan
tentang beasiswa atau hadiah, lebih dari itu. Ini tentang menggenapi separuh
agamaNya.
Ya, amplop ini adalah proposal kehidupan
seorang mahasiswi mulia, yang tidak lain adalah anak Ust. Jazuli, Hurin ‘Ain. Seorang
bidadari yang tak tersentuh tangan. Gambaran kesuciannya seperti yang Allah
tuangkan dalam Surat Ar Rahman, sebuah surat yang berisi kecintaanNya kepada
hambaNya yang shalih.
Bagaimana bisa aku yang
dipercayainya? Bahkan aku merasa tidak layak untuk ini. Dan jujur, aku
menolaknya.
“Ustadz, afwan”, jawabku,”Nampaknya
ustadz salah dalam memilih”, sambil kukembalikan amplop tersebut.
“Kenapa?”
“Sa.. Saya”, sahutku, “Saya
hanya mahasiswa miskin yang belum punya penghasilan tetap. Untuk menghidupi
diri sendiri saja saya harus berjuang, apalagi untuk menafkahi istri. Saya
tidak mau zalim”
Ust. Jazuli menatapku lekat, ia
tersenyum, kemudian, sambil mengembalikan amplop tersebut kepadaku, ia
menasihatiku.
“Jangan terlalu cepat berkesimpulan, Yaa Ukhayya”, ujarnya, “Aku mengenalmu. Jangan permasalahkan tentang
finansial. Aku sudah melihat benih-benih kesuksesan dalam dirimu. Sekarang yang
kuminta, engkau yakinkan hatimu, luruskan niatmu, bahwa ini semua hanya karena
Allah.
Lagipula, aku tidak memilihmu karena finansialmu. Kalau aku hendak
memilih calon suami untuk anakku hanya dari finansialnya, kau pasti tidak masuk
kualifikasi. Hehe. Tapi Nabi yang mulia mengajari, bahwa bukan itu indikatornya.”
Lantas, sambil menunjuk hatiku ia
berujar,
“Tapi imanmu, Nak”
Dan aku hanya bisa tertunduk kala
mendengar ucapannya. Sungguh, aku benar-benar malu. Aku bukanlah hambaNya yang
taat, bukan pula hambaNya yang paling santun. Seringkali aku menghianati
cintaNya. Seringkali aku melalaikan hakNya atas diriku.
Tapi Dia selalu mengampuni,
bahkan memberi nikmat yang tiada terduga. Bahkan nikmat yang diberikanNya
padaku hari ini.
Ku tatapi layar handphoneku
lekat-lekat. Seakan ini terlalu berat untuk kuputuskan seorang diri. Maka
kuputuskan tuk memasang mode senyap di handphoneku, kemudian kulanjutkan
tilawahku. Aku tengah mencoba meluruskan niat, dan memintal jalan menuju jawaban
dariNya.
Tidak dengan keadaan ini. Tidak
dengan kekalutan ini.
Lantas akupun kembali syahdu
dalam simfoni cintaNya. Kuselami kembali keagungan kalamNya yang menyemai
kedamaian di ufuk sanubari. Menenangkan, mengayomi, menghangatkan. Sampai di
ayat ke 135, ayat terakhir Surat Thaha, ku
putuskan untuk bermunajat padaNya lewat istikharah paling khusuk dan raja’.
Aku bangkit, dan beranjak menuju
kamar mandi, untuk sekali lagi memperbarui wudhu-ku. Meski yang sebelumnya
belum batal, tapi aku ingin istikharah ini basah dengan iman yang
mencurah-curah dihadapanNya. Agar kiranya Ia karuniai keberkahan atas tiap
pengharapan. Untuk sudilah rahmatNya tersulurkan kepadaku, lantas terpintal
jawaban terbaik yang datang dari keridhanNya.
Keridhaan Yang Maha Sempurna.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon