Kontemplasi Senja

Lembayung senja masih menghiasi langit2 heningku, sepi memandangi debur ombak yg saling mengejar, membentur dinding karang dan sirna menjadi buih di pesisir pantai. Burung-burung beterbangan, asik berpacu di ketinggian, bersama kawan-kawan merintangi luasnya angkasa, laksana menjelajah sesuatu yg tak berbatas. Namun, tatkala kupandangi ujung lautan ini, yang ada hanyalah segaris tipis dari bentangan samudera yg luas, menyimpan misteri disebalik mata memandang, gerangan apa yang tersedia dari balik tapal batas tersebut, hanya akan menjadi kegemasan hingga aku mampu berlabuh di ujung sana.

Hariku masih hening di atas karang di tepi pantai yang indah ini. Semakin gelap hari kurasa, namun semakin ramai rombongan muda-mudi berkumpul menjajaki selosok tempat di pinggiran pantai. lalu, tak jauh dari tempatku, sepasang muda-mudi tengah asik bergaya sambil mengabadikan kehadiran mereka di tempat ini dengan berfoto ria, bersama euforia senja mengantar surya menuju peraduannya. Entah apakah mereka tlah menjadi mahram ataukah...

Lalu kehempas pandanganku diantara sebuah ayunan di dekat pendopo, duduk seorang pria tua dengan wajah temaram, menatap sang surya dari ujung lautan, guratan-guratan wajahnya menceritakan berjuta pengalaman. Kurasa dia adalah Pejuang Kemerdekaan, setidaknya itu yg terlintas saat kulihat peci hitam yg menghias kepalanya bercokol sebuah pin berwarna merah putih, bendera tanah air kita. Namun itu mungkin hanya sekedar dugaan, karena aku bukanlah tukang tenung yang sok hebat menerka orang, aku hanya musafir dahaga yang mencari lumbungnya.

Ahh, mengapa kuhiraukan mereka, toh kedatanganku kesini bukan untuk memperhatikan mereka. Aku hanya ingin menatap senja yang menurut sahabatku, mampu menghapus kegelisahan hati.  Tapi, jujur ku akui, gelisah ini masih terus berputar dalam arus yang tak menentu.

"Dek, mau Sekoteng nggak?? Murah, dek!", ujar seorang penjual Sekoteng yg melenyapkan lamunanku.

"Euh.. Emmh.. Berapaan bang?"

"Tiga ribuan doang kok dek, lumayan buat ngangetin badan,  kan sebentar lagi mah udaranya agak dingin dek, hehe.", sahut penjual tersebut sumringah.

Aku menatap ke gerobak sekoteng tersebut, sambil berfikir, Apa untungnya berjualan skoteng, capek2 mendorong gerobak kesana-kemari, tapi orang kan g suka lagi dengan skoteng. Mereka lebih suka mampir di St*r Buck, atau cafe2, atau nongkrong di mall-mall yang sarat akan kemewahan, mungkin dengan itu membuat mereka menjadi seperti orang WAH.

"Gimana dek?? Jadi gak belinya?"

Sontak aku memandang ke arah si penjual skoteng. Matanya seolah menaruh harap yang sangat tinggi agar aku membeli dagangannya, mungkin dibalik pengharapan itu, ada keluarga yang harus dinafkahinya. Sekali lagi mungkin. Namun jika memikirkan omset yang didapatnya sehari, membuatku tak tega untuk menjawab tidak padanya. Lantas aku menunduk sambil tersenyum, dan sambil menghela nafas dalam-dalam, aku mengiyakan tawarannya.

"Boleh deh Pak, biar saya ada kesibukan juga disini.", sahutku dengan sopan.

"Alhamdulillah, tenang dek, skoteng buatan saya mah dijamin enak lah. Percaya dehh! hehehe."

Aku hanya tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat respon si penjual skoteng itu. Semakin hilang kutatap sang surya dari ujung laut ini, ditingkahi sinaran rembulan bersama gugusan bintang menghiasi angkasa, seakan aku mampu menggenggam satu dari jutaan batu angkasa tersebut dalam tanganku. Hayal itu membuatku sedikit tertawa. Bagaimana mungkin aku yang seperti ini mampu menggenggam angkasa, daratan pun enggan menyapaku. Kurasa.

Aku mulai kehabisan lamunan, dan kerikil disekitarku menjadi pelampiasan yang sangat manjur tuk mengganti ketidak jelasanku dipenghujung hari ini. Sambil melempar-lemparkan kerikil, aku bersiul dengan irama yang aku sendiri pun tidak mengerti, hanya membuang-buang nada acak tak beraturan. Ketika itulah kulihat dari kejauhan, sekelompok wanita berkerudung panjang, lengkap dengan terusan rok yang menjulur hingga menutupi mata kaki, bahkan banyak diantarannya yang memakai cadar, membuatku cekikikan sendiri.

Bukan meledek, hanya tabiatku yang agak berlebihan jika melihat akhwat bercadar. Kurasa ini karena aku adalah penggemar komik Ninja, sehingga setiap kali kulihat wanita bercadar, aku merasa mereka mirip dengan para ninja. Hanya sisi lain dari hidupku.

Masih kupandangi kelompok wanita  bercadar itu, mencoba menerka apa yang akan mereka lakukan di sini, di waktu menjelang malam. Dari gelagatnya, kurasa mereka akan menginap di hotel dekat pantai, mungkin mereka adalah satu kelompok pengajian dari sebuah harokah Islam yang hendak berlibur. Atau mungkin mereka adalah mata-mata Tobi yang bekerja sama dengan Madara untuk merebut Kyubi dari tubuh Naruto. Lhoh!! Halah3x, mulai lagi kan. Selalu saja menerawang hal yang tidak jelas, membuatku kembali tertawa sendiri.

"Nih dek skoteng pesenan adek, angetnya pooooll dehh! hehe", ucap si penjual skoteng membawakan skoteng pesananku.

"Ohoh, iya, iya bang. Saya sampe lupa kalau saya mesen skoteng barusan. Waaah, mantap nih kayaknya", sahutku renyah.

Si penjual skoteng hanya sumringah seperti biasa, lalu langsung beranjak kembali ke gerobaknya untuk melayani sepasang muda-mudi yang membeli skotengnya. Alhamdulillah, mudah-mudahan skotengnya laku malam ini. Setidaknya itulah munajatku untuknya.

Perlahan-lahan, kucicipi skoteng buatan si abang-abang barusan. Hmmmh, lumayan, hangatnya membuat udara pantai tak mampu menggigilkan tubuhku. Lalu, kutatap langit,  ternyata hari telah sepenuhnya berganti. Meski di ufuk masih terlihat pancaran senja beranjak tenggelam, namun di atas kepalaku langit telah bermetafor menjadi gelap. Dan sambil menghirup skoteng, kuresapi nuansa pantai di ujung petang, hingga menelusuk ke sanubari, membuatku kembali termenung.

Manakah yang terbaik, memilihnya, dan memastikannya hingga akhir, atau melepasnya dan membiarkannya karena kurasa diriku bukanlah lelaki yang baik, lagipula aku tidak tahu apakah 'dia' ada hati kepadaku. Tapi kenapa, kenapa. Setiap kali aku menghindar, akan datang 'dia', dan 'dia' lainnya. Aku bukan pria baik-baik. Aku tidak ingin berurusan dengan sesuatu yang disebut Cinta, rasa itu tlah lama ku kunci di sebuah ruang yang kucoba untuk lupakan. Bagiku, Cintaku kan kutemukan, saat aku tlah mendayung samudera kehidupan di bawah payung Cinta Sang Pemilik Cinta. Karena ku tahu, masa laluku tlah menjerumuskanku dalam perjalanan Nafsu yang kuanggap Cinta, dan aku tak mau lagi terjatuh dalam sumur kehampaan tersebut. Tapi, bagaimana? Adakah hati yang terbuka secara tulus untuk diriku dan diriku di masa silam? Aku hanya seseorang yang terlalu takut menCintai dan diCintai, hingga akhirnya hanya bisa memberi harapan-harapan tanpa kepastian.

Lantas air mata mulai menggenang di pelupuk mata, namun segera kuhapus. Pantang bagiku menangisi hal seperti ini, karena hari-hari yang tlah kulalui sebelumnya, tlah mengajariku untuk membentengi diri dari air mata yang tidak penting. Itulah lelaki, air mataku terlalu mahal untuk mengurusi masalah ini.

Dan aku segera menghirup kembali skoteng yang ada dalam genggaman tanganku.

"Setiap hari, akan selalu ada bayi yang lahir ke dunia. Namun di saat yang sama, akan ada manusia yang mati meninggalkan dunia ini. Setiap hari, sel dalam tubuh kita akan beregenerasi menjadi sel-sel yang baru, tidak akan Tuhan biarkan sel-sel jahanam dalam diri bertahta terlalu lama, seperti itu pula-lah siklus kehidupan. Jika ada siang, pastilah tak selamanya ia menetapi angkasa, akan sampai pula pada persinggahannya dengan malam. Hari yang lalu, tak akan bisa diputar kembali, hanya menjadi kenangan di kepala."

"Tak ada batu yang tak retak, selayaknya jiwa yang tak akan pernah sempurna. Bilapun ada seseorang yang mengaku sempurna, sungguh ia telah menunjukkan betapa dirinya tidak sempurna. Hidup ini adalah pilihan, dan sebaik-baik pilihan adalah yang membawa diri kearah kebaikan, bukan sebaliknya. Karena Tuhan tak pernah lengah.", ucap seorang pria paruh baya yang secara tiba-tiba. Entah darimana datangnya, ia telah berdiri disampingku.

Aku terhenyak mendengar ucapannya, sambil menatapnya heran, aku memperhatikan baik-baik dirinya yang tengah memandang ke arah laut. Seolah tengah membaca sebuah pesan dari sana. Lalu, ia menatapku dan tersenyum. Kemudian beranjak pergi menjauh. Sedangkan aku, masih terenyuh dengan kata-katanya yang tak terduga itu sehingga terus memandanginya yang semakin jauh dari penglihatanku.

Siapa dia??

Pertanyaan yang sekejap memberangus lamunanku. Kata-katanya, seolah terlantun sebagai jawaban ini semua. Ya itu dia. Itulah jawabannya. hahahaha, bodohnya aku, mengapa harus terbebani dengan hal ini. Aku terpingkal seorang diri sambil memegangi skoteng yang sedari tadi kuhirup. Dan, kontemplasi hari ini, kututup dengan menikmati Skoteng hangat di temani nyanyian dari seniman jalanan, di bawah kerlipan sinarai bintang kemintang yang berbalut kemegahan ciptaan Illahi. Tak lama, aku pun bergegas menuju mushalla terdekat tuk menunaikan seruanNya, tegakkan kewajibanku sebagai hambaNya. Selalu ada pilihan bagi setiap jiwa yang menghamba padaNya.
Previous
Next Post »